Bertepatan dengan hari lupus sedunia, aku ingin membagikan kisahku, sebagai kelanjutan dari cerita yang sebelumnya sudah kutulis di sini Meniscus Tear Pengantar Lupus-ku
Suspect Kusta
Seperti yang kuceritakan sebelumnya, pada tanggal 25 Agustus 2016, aku telah menjalani artroskopi yaitu operasi teropong sendi atas diagnosa sakit meniscus tear, sendi lutut yang robek. Pasca operasi, aku harus istirahat di rumah. Kalau biasanya aku bisa bergerak bebas, kali ini semuanya harus serba pelan, bahkan untuk gerakan sujud dalam sholat aku hanya bisa melakukannya dengan duduk. Namun demi kesembuhanku, aku jalani semua itu dengan mematuhi semua petunjuk dokter. Rasanya terharu karena semua teman, saudara serta anak-anak (murid-muridku) bergantian menjengukku setiap hari. Seminggu kemudian aku sudah kembali mengajar, meski untuk itu, murid-muridku yang kelasnya di lantai dua harus bertukar kelas dengan teman-temannya di lantai satu, mereka lakukan dengan senang hati tanpa protes.
Sementara lututku sudah agak membaik, aku berencana untuk kembali konsentrasi ke perawatan kulit mukaku yang masih memerah. Bersamaan dengan itu, aku merasakan badanku nyeri hebat. Ini terjadi dua minggu setelah artroskopi yang kujalani, tepatnya tanggal 10 September 2016, tiga hari menjelang Idul Adha. Di saat orang-orang sedang menikmati persiapan hari raya kurban, aku terkapar di tempat tidur, merasakan nyeri di badan, bahkan untuk mengubah posisi tidur pun harus kulakukan dengan sangat pelan. Suamiku yang seharusnya ikut aktif di masjid pun akhirnya hanya sebentar menyaksikan hewan kurbannya disembelih, kemudian langsung pulang dan lebih memilih menemaniku, juga memasak makanan untukku dan anak-anak.
Inginnya aku segera berobat ke dokter, namun harus menunggu dari hari Sabtu hingga Senin (libur Idul Adha). Barulah di hari Selasa tanggal 13 September 2016, aku pergi ke rumah sakit Usada Insani (RSUI) diantar suamiku yang sengaja cuti menemaniku. Kami memilih ke dokter spesialis kulit lebih dulu. Kali ini (dan seterusnya nanti) aku bertemu dengan dr. Elly Dainty Arifin, Sp.KK. Sebelumnya aku juga sudah pernah konsultasi dengan beliau (saat itu aku kena dermatitis numularis, salah satu radang kulit yang antara lain berkaitan juga dengan kebersihan gigi, karena aku sudah harus membersihkan karang gigiku). Aku ceritakan semua dari mulai batuk, memerahnya wajah dan leher, meniscus tear, hingga suspect lupus seperti yang dikatakan dokter kulit sebelumnya (dr.Fiedya). Beliau mengetes kepekaan sentuhan pada kulit wajah, telinga juga leherku. Menurut beliau, ini bukan lupus, tapi lebih cenderung suspect kusta. Beliau juga bilang, ini masih suspect, mudah-mudahan dugaan ini salah. Untuk itu, aku pun harus dirujuk ke rumah sakit Sitanala (rumah sakit yang awalnya khusus untuk penyakit kusta, namun sekarang sudah menjadi RSUD). Bayangkaaaaan…, seperti apa rasanya hatiku…., harus sedih ataukah berkurang sedihku, atau justru agak senang karena bukan lupus…, tetapi ganti dengan suspect kusta…? Yang pasti, tetaplah aku bingung karena tidak tahu manakah yang lebih berbahaya antara keduanya.. Suamiku pun tampak agak kaget juga, kusta?…apa iyyaa??.. Di sini aku dan suami sempat bolak-balik dari RSUI ke Royal Medical Centre (RMC), karena awalnya pihak RSUI bilang untuk ke RS Sitanala harus pakai rujukan dari faskes 1 ( RMC), ternyata RMC tidak bisa mengeluarkan surat rujukan tersebut. Kembali lagi kami ke RSUI dan hanya meminta stempel BPJS saja seperti saran dari RMC, namun itupun pihak RSUI mengatakan tidak bisa memberikannya. Tak mau pusing dengan BPJS, suamiku langsung memutuskan pakai pengobatan pribadi saja. Kamipun meluncur ke RSUD Sitanala. Setelah kami menjelaskan bahwa kami datang hanya dengan surat pengantar dari dokter kulit di RSUI, bersyukur seorang bapak petugas dengan ramah menolong dan membolehkanku untuk tetap berobat di sana, namun dengan pesan jika akan berobat lagi maka harus ada stempel BPJS-nya. (terima kasih Pak, meskipun aku lupa nama bapak ini, sempat aku saksikan juga beliau memudahkan urusan calon pasien di sana yang juga bermasalah dengan administrasi). Di sana pula aku dan suami sempat melihat pasien yang benar-benar sakit kusta, hatikupun menciut takut sambil terus berdoa mudah-mudahan sakitku bukan kusta.
Akhirnya aku pun bertemu dengan dokter kulit di sana (ibu dokter yang ini aku juga lupa mencatat namanya), yang jelas sesama dokter spesialis kulit juga. Dan akupun dicek fisik oleh dokter, kalau memang kusta maka kepekaan sentuhan akan berkurang atau bahkan tidak ada, sementara aku disuruh merem kemudian dicolek-colek kulitku pakai sesobek kertas kecil, masih sangaaaat sensitif. Jadi tanpa perlu cek laboratorium, dokter mengatakan bahwa aku sama sekali tidak ada indikasi kusta. Alhamdulillah…, sedikit lega mendengarnya…, meskipun masih harus mencari tahu lagi apakah gerangan sakitku. Selanjutnya aku bertanya, kalau bukan kusta, lalu aku harus konsultasi ke mana lagi? Karena sebelumnya aku disuspect lupus, dokternya menganjurkanku untuk konsultasi ke dokter spesialis penyakit dalam, dan beliau hendak memberikan rujukan untuk beralih ke dokter penyakit dalam di rumah sakit tersebut . Suamiku langsung angkat bicara, baik dok, kalau memang ke dokter penyakit dalam, kami minta kembali lagi ke RSUI dengan alasan lebih dekat dari rumah. (Aku tahu, sebenarnya bukan itu alasannya, kalau masih di RS Sitanala, kami hanya merasa agak gimanaaaa gitu.., jadi kami lebih memilih ke RSUI lagi). Seingatku hari itu kami mondar-mandir dan bolak-balik dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, bertemu dengan dokter yang satu dan juga dokter lainnya.
Welcome… My Lupus…
Akhirnya
kami sampai di RSUI lagi (untuk kali ke sekian di hari itu…). Jadwal hari itu ada dua orang dokter spesialis penyakit dalam, aku ditanya mau ke dokter siapa, aku jelaskan saja tentang kondisiku termasuk nyeri yang kurasakan, dan kemudian disarankan ke dokter Sumariyono, Sp.PD KR Beliau inilah yang akhirnya nanti menangani sakitku. Karena jadwal praktik dokternya malam hari, kamipun pulang dulu, agar aku bisa beristirahat. Sejak sakitku, aku sering merasa lemas, nafsu makan pun jelek, apalagi mulut dan bibirku kering, sakit untuk menelan makanan.
kami sampai di RSUI lagi (untuk kali ke sekian di hari itu…). Jadwal hari itu ada dua orang dokter spesialis penyakit dalam, aku ditanya mau ke dokter siapa, aku jelaskan saja tentang kondisiku termasuk nyeri yang kurasakan, dan kemudian disarankan ke dokter Sumariyono, Sp.PD KR Beliau inilah yang akhirnya nanti menangani sakitku. Karena jadwal praktik dokternya malam hari, kamipun pulang dulu, agar aku bisa beristirahat. Sejak sakitku, aku sering merasa lemas, nafsu makan pun jelek, apalagi mulut dan bibirku kering, sakit untuk menelan makanan.
Malamnya, aku dan suami kembali ke RSUI. Jadwal praktik sang dokter pukul 19.00 dan beliau termasuk dokter yang sangat laris, banyak pasiennya. Beliau satu-satunya dokter spesialis penyakit dalam spesialis konsultan reumatologi. Beliau adalah dokter dari RS Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat. Aku harus menunggu lammaaa untuk ketemu beliau karena nomor antrianku belakangan. Sambil menunggu itu, suamiku sempat ngobrol dengan seorang mas-mas yang juga mengantarkan ponakannya berobat, kebetulan sakitnya adalah lupus. Dari ceritanya, di awal sakitnya, ponakannya sampai tidak bisa beraktivitas normal, sempat dirawat di rumah sakit selama sepuluh hari, tidak bisa makan sama sekali karena mual dan muntah, badannya sakit semua. Dari kemiripan kondisi ini, suamiku bilang, “kayaknya bener, Mama juga lupus…”.
Akhirnya bertemulah kami dengan sang dokter. Beliau mendengarkan cerita kami, lalu memeriksaku, dari ujung rambut hingga jari-jari kaki. Langsung aku menangkap kesan baik, teliti dan sabar dari beliau. Dan….., beliau bilang kepada suamiku, “lupus Pak”. Naaaaah…, kagetkah? Kali ini… sama sekali tidaaak…heheee, sebab sudah beberapa tahapan dugaan ini muncul. Dokter mengharuskanku untuk tes darah (cek laboratorium) yang meliputi : hematologi (hemoglobin, jumlah leukosit, basofil, dll hingga laju endap darah, jumlah eritrosit, hematokrit dan trombosit), fungsi hati (SGOT, SGPT), fungsi ginjal (creatinine), serologi (anti Ds-DNA, ANA IgG), serta urin lengkap. Sementara itu, aku pun memulai minum obat berupa methylprednisolone 4 mg (4-4-0, artinya pagi 4 tablet, siang 4 tablet dan malam tidak minum), lansoprazole (untuk lambung).
Teman-teman, meskipun sudah tidak kaget dengan suspect sakit yang istilah medisnya systemic lupus erythematosus (SLE) ini, tetap saja aku sempat linglung, antara harus percaya ataukah tidak? Duluuu aku sering baca tentang lupus, salah satu jenis penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Aku pun googling lagi, kubaca banyak-banyak referensi tentang ini.
Seminggu kemudian aku harus kontrol lagi dengan membawa hasil tes darah. Sebelum bertemu dokter, aku sudah membaca-baca hasil tes darah dan juga mencari tahu apa arti hasil tes tersebut. Sempat aku gembira karena kulihat hasil ANA tesnya negatif. Antinuclear Antibodies atau ANA test ini untuk melihat ada tidaknya penyakit autoimun (salah satu jenisnya adalah lupus). Kulihat hasil tes ANA IgG 0,8 (positif jika > 1,2). Dokter bilang, semua indikasi mengarah ke lupus, tetapi ANA tes negatif, jadi harus kita cari penyebab lainnya. Kita cek untuk hepatitis dan HIV ya bu… Baiiiiik dok, meskipun setengah tidak percaya, kok sampai ke cek hepatitis, apalagi HIV, aku pun tetap patuh. Jadilah cek darah lagi untuk anti HCV total, anti HIV penyaring dan HBsAg (Rapid). Untuk obat, masih sama, tetapi methylprednisolone (sering disingkat mp) diturunkan dosisnya menjadi 4-2-0. Memang, pada saat awal mengkonsumsi mp, baru sekitar 3-4 hari, aku langsung merasakan nyeri badan berkurang, dan terutama jari-jemari tangan yang semula seperti bengkak dan agak kaku (sampai tidak muat pakai cincin nikah), langsung membaik kekuatan tanganku. Kontrol pun diperpanjang menjadi 2 minggu.
Alhamdulillah, tes darah kedua, hasilnya semua negatif…. Ini pula yang membuat dokter pun berpikir keras, mencari lagi penyebab sakitku. Aku sendiri masih antara percaya dan tidak percaya, ini lupus beneran atau bukan?… Dari referensi yang banyak kubaca, beberapa karakteristik penyakit lupus memang terjadi padaku. Sambil mengingat kembali, aku seolah memutar video saat pasca operasi artroskopi meniscus tear. Saat itu, masih opname di rumah sakit, aku mengalami sariawan hebat, hingga susah makan (minum banyak madu untuk melemaskan mulut dan bibir pun tidak berpengaruh), badan nyeri, demam berulang, juga tiba-tiba rambut banyak rontok di sprei. Davina, anak gadisku yang pertama menyadari, Mama kok tumben rambutnya rontok banget?… Nah, kesemuanya itu adalah ciri-ciri sakit lupus. Bahkan pada beberapa kasus, penderita lupus yang parah bisa sampai tidak bisa jalan karena terserang sendi lututnya. Ini yang kemudian membuat aku dan suami kadang berandai-andai, jika sakit lupus ini lebih dulu ketahuan, mungkin tidak akan ada operasi lutut terjadi. Tapi yaaaa…, jalannya memang harus seperti ini…
Kembali kontrol dokter, beliau memang sangat hati-hati menganalisa sakitku. Karena sebelumnya aku pernah batuk berkepanjangan, akhirnya beliau merujukku konsultasi ke dokter paru. Siapa tahu ada pengaruh dari tuberkulosis (TBC), mengingat berat badanku yang memang turun drastis hingga lebih dari 6 kilogram. Bagaimana tidak drop, makan pun susah karena sariawan yang hebat tadi, sampai-sampai menu favoritku saat itu adalah nasi+telur ceplok+kecap, itu pun dengan porsi sangat sedikit, kurang dari setengah porsi biasanya.
Aku bertemu dokter Ria Faridawati Kemal,Sp.P. Kujalani tes mantoux yang alhamdulillah hasilnya pun negatif. Untuk memastikannya lagi, aku harus menjalani tes TBC yang lebih akurat, yaitu IFN-Gamma Release Assay (IGRA). Kali ini aku harus mendatangi laboratorium Prodia (yang terdekat di Serpong) karena di RSUI tidak ada tes tersebut. Bagaimana hasilnya?, indeterminate dengan nilai rujukan negatif…
Rutinitas…
Teman-teman, sejak 13 September itu, selain tetap menjalankan tugas mengajar, selanjutnya hari-hariku diwarnai dengan pergi ke rumah sakit, konsul dokter, periksa darah untuk cek laboratorium. Jangan tanya lammaanya...heheee, butuh kesabaran ekstraaaaa... Dari mulai daftar, nunggu giliran ketemu dokter, bahkan nunggu obatnya di apotek. Sampai-sampai bapak-bapak yang ngatur parkir di RSUI hafal banget denganku. Dalam hati aku bercanda, tanpa aku setir pun, mobilku pasti bisa nyampai sendiri di RSUI, hihihii…
Sedihnya lagi, sering kalau pulang mengajar, Zaidan-ku bertanya, Mama hari ini gak ke rumah sakit ‘kan? Kalau jawabanku, enggak Dik.., kelihatan banget happy-nya dia…
Sementara itu, kondisiku kadang masih terasa nyeri, demam juga bisa datang sewaktu-waktu, jadi termometer pun sudah jadi sahabatku untuk selalu mengukur suhu tubuhku. Obatku mulai ditambah cavit D-3 (vitamin untuk kalsium), dan juga hydroxychloroquine. Yang terakhir ini belinya harus di apotek RSCM, meskipun jauh, suamiku dengan setia selalu membelikannya untukku. Untuk mengkonsumsi ini, terlebih dulu aku harus konsultasi ke dokter mata, bertemulah aku dengan dokter Fadjar SN Soebali,Sp.M yang memastikan aku boleh minum hydroxychloroquine ini dalam jangka waktu tertentu. Nantinya setiap tiga bulan aku harus kontrol untuk mengetahui perkembangannya. Sementara itu, aku pun masih terus konsultasi ke dokter kulit, mengingat wajahku yang masih merah-merah, dokter Elly selalu mengingatkan, jangan terkena sinar matahari yaaa…, pakai payung mbak, nyetir di mobil pun harus pakai masker…, dan kadang semua itu masih tidak bisa kulaksanakan…hehee…
Perkembangan selanjutnya, terjadi luka di siku tangan kiri dan kanan, ternyata namanya vaskulitis yaitu peradangan pada pembuluh darah yang menyebabkan perubahan pada dinding pembuluh, terjadi karena sistem kekebalan tubuh melakukan kesalahan dan menyerang pembuluh darah, berakibat seperti bekas luka. Dari tes hemostasis-ku juga menunjukkan adanya gangguan pembekuan darah hiperkoagulasi, jadi bertambahlah lagi obat yang harus kuminum yaitu simarc (warfarin sodium), sementara mp sudah turun menjadi 4-0-0.
Obat yang dari dokter kulit : nerilon, desoximetasone, cetirizine, juga sunblock dan nutrisi kulit racikan dokter.
Sampai saat ini, awal Mei 2017, aku masih berteman dengan rutinitas ke dokter dan disuntik untuk cek darah. Kedua tanganku sampai biru-biru saking seringnya diambil darah. Petugas lab-nya juga hafal dengan Bu Dyah, katanya, untung Ibu semangat terus… Ya iyaaaaa mbak, harus semangaaaat.
Terkadang memang ada kebosanan untuk minum obat, karena banyaknya obat yang harus kuminum setiap hari, sampai mulutku terasa pahit. Aku sendiri dari kecil paling susah minum obat, bahkan sampai sekarang kalau minum obat harus ada ‘teman’nya, bisa pakai kue, biskuit, potongan roti, tahu, tempe atau paling mudah adalah bersama pisang. Dan karena sekarang ini obatku sangat banyak, jadi di rumah selalu tersedia pisang untuk minum obat-obatku. Di komunitas autoimun, obat-obat ini kami sebut dengan permen…heheee…
Sekarang masih ada obat tambahan lagi yaitu imuran yang berfungsi menekan sistem kekebalan tubuh untuk membatasi kerusakan pada organ. Kadang masalah yang timbul adalah bahwa jenis obat tertentu penyakit autoimun tidak ada di pasaran. Beberapa minggu ini imuran tidak ada di mana-mana di Indonesia, dokter bilang imuran harus impor, dan baru akan ada bulan April (aku menulis cerita ini sekitar akhir Maret hingga awal Mei). Akhirnya beliau memberikan alternatif pengganti yang harganya jauuuh lebih mahal yaitu cellcept dengan harga 33 ribu lebih per tabletnya.
Untuk pengobatan sakitku ini aku masih menggunakan BPJS. Dari sinilah akhirnya aku tahu rambu-rambu fasilitas BPJS. Untuk biaya konsultasi dokter pasti dijamin. Biaya dokter di RSUI, kalau pribadi 250.000. Untuk tes darah, yang dicover hanya satu jenis tes. Misalnya aku diharuskan tes 5 jenis, maka hanya 1 tes yang dijamin BPJS, itu pun yang paling rendah biayanya, sisanya pakai pribadi, dan syaratnya lagi, tes darah harus dilakukan pada hari yang sama dengan konsultasi dokter. Kalau ribet, akhirnya aku pun sering pakai pengobatan pribadi. Tes-tes ini memang diperlukan untuk memantau perkembangan sakitku dan juga mengetahui reaksi obat yang diberikan.
Berikut informasi biaya tes darah yang sempat tercatat olehku :
- ANA tes dll (hematologi, fungsi hati, fungsi ginjal, serologi, urin) : 1.305.000.
- anti HIV dan hepatitis : 715.000
- mantoux : 131.000
- IGRA : 840.000
- hemostasis : 1.375.000
- hematologi : 340.000
- C3 dan C4 Complemen : 1.010.000
Dan lain-lain yang mungkin tidak sempat kucatat atau juga yang tercover BPJS.
Oh ya, harga BPJS dengan harga pengobatan pribadi pun berbeda. Misalnya 1 tes biaya BPJS 85.000, maka tes yang sama dengan biaya pribadi pasti lebih mahal dari itu.
Untuk obat-obatan, BPJS hanya menjamin obat yang ‘tidak mahal’, dan itupun jika kita membutuhkan untuk 2 minggu atau 1 bulan (hingga nanti kontrol dokter lagi), maka BPJS hanya menjamin obat untuk seminggu saja atau bahkan 3 hari, sisanya harus beli sendiri.
- methylprednisolon : 360 per tablet
- cavit D-3 : 1.700 per tablet
- simarc : 1.100 per tablet
- imuran : 8.300 per tablet
- cellcept : 31.335 per tablet
- hydroxychloroquine (mylan) : 8.000 per tablet
Komunitas…
Sejak didiagnosa lupus, aku pun bergabung dengan komunitas autoimun Indonesia. Ternyataaa…, subhanallah, buanyaaak sekali teman-teman yang juga menderita penyakit autoimun ini, dengan jenisnya berbeda-beda. Di sini kami semua saling berbagi, saling menguatkan dan menyemangati. Salah satu hal yang kami bahas adalah bahwa kami merasa kesulitan menjelaskan sakit kami ini kepada teman-teman (yang tidak tahu tentang sakit autoimun), karena kadang sakit ini tidak terlihat. Dari salah satu buletin autoimun dikatakan bahwa “...para penyandang autoimun masih ada yang aktif bekerja dan beraktivitas sehari-hari,… namun meskipun terlihat segar dan sehat, sebenarnya mereka juga merasakan sakit di dalam tubuh seperti nyeri dan gejala-gejala lainnya. Jika gejala tidak tertahankan, barulah biasanya penyandang segera beristirahat atau segera ke rumah sakit. Kondisi ini membuat penyakit autoimun sering dikategorikan sebagai penyakit tidak kasat mata…” (Sumber : Buletin Autoimun, Oktober 2016, Edisi 1, Komunitas Autoimun, ditulis oleh dr. Andini S. Natasari, MRes Immunobiology)
Mendapatkan diagnosa lupus ini, bagiku adalah seolah mendapatkan kesempatan langka, agar aku lebih bisa bersyukur kepada Allah SWT. Bagaimana tidak? Bagian yang tersulit adalah ikhlas menerima sakit ini. Aku hanya yakin bahwa, Allah telah memilihku karena aku mampu. Aku juga banyak belajar dari teman-teman sesama penyandang autoimun, baik di komunitas, maupun yang sering bertemu pada saat kontrol dokter. Aku merasa bersyukur, sakitku tergolong masih sangaaat ringan dibandingkan dengan sakitnya teman-teman yang lain. Kalau aku bilang, ini wajahku masih merah-merah belum sembuh, ada yang jawab, kalau buat orang autoimun sih bopeng-bopeng di wajah itu sudah biasa mbak… Kali lain aku baca, ada yang sampai pakai kursi roda karena nyeri sendi tidak bisa jalan, bahkan ada yang sampai jalannya ngesot, pun ada yang sampai penglihatannya buram hampir tidak bisa melihat, juga ada yang sudah sakit selama enam belas tahun… Semoga aku dan teman-teman penyandang autoimun bisa tetap sabar dan semangat bersahabat dengan sakit ini…
Semoga selalu sehat…
Untuk teman-teman kerjaku, mudah-mudahan bisa mengerti dengan kondisiku. Alhamdulillah aku bisa beraktivitas mengajar sehari-hari, sebisa mungkin aku mengatur diriku agar tidak meninggalkan tugas. Meskipun sekarang aku punya alarm, jika capek maka alarm diriku akan berbunyi… dan harus dijawab dengan istirahat…
Naaah teman-teman, mudah-mudahan pertanyaan yang banyak muncul di awal cerita, seperti ini :
“Ibu kenapa hidungnya merah-merah?”
“Bu Dy kok tangannya panas?” (saat bersalaman denganku)
“Wajah Bu Dyah kenapa merah-merah semua, apa salah make up?”
“Ibu kenapa gak ikut upacara?”
“Ibu kok lemes kenapa?”
“Bu Dyah makin langsing aja?”
…. sekarang sudah terjawab semua yaaaa…..
Alhamdulillah, aku saat ini sudah membaik. Kadang memang masih datang rasa nyeri, demam sewaktu-waktu, juga jemari tangan yang masih sering kaku dan wajah yang masih belum hilang merah-merahnya, bahkan tampak seperti bekas luka dan menghitam karena vaskulitis. Jari-jari tanganku yang merah-merah ini sering menggangguku dalam beraktivitas, seperti susah membuka tutup botol minum, juga gak tahan untuk cuci piring atau perabotan dapur, karena pedih atau panas, ujung tanganpun jadi agak kasar. Wajahku pun belum bisa halus lagi karena hiasan merah-merah, kadang di bawah hidung pun kasar atau seperti bekas luka. Aku juga harus menjaga agar tidak kecapekan dan tidak terkena paparan sinar matahari, pun juga tidak boleh stress. Karena ini juga, aku belum berani olah raga senam lagi, takut sama mentari...heheee. Aku merasakan, jika terlalu capek, bisanya hanya tiduraaaaan aja. Istilah autoimun-nya adalah flare (kelelahan) dan bisa berakibat fatigue atau kondisi drop (karena kelelahan, letih atau lemah jadi berkurangnya kapasitas bekerja).
Meskipun sakit, aku tetap berusaha beraktivitas normal, ke mana-mana menyetir sendiri, mengajar, belanja, memasak, bahkan jalan-jalan, sambil tetap menakar kadar kecapekan dan juga tetap berusaha menghindari sinar mentari.
Oh ya, hampir lupa kuceritakan bahwa tidak lama saat rambutku rontok, suamiku menyuruhku potong cantik eh salah…potong cepak ala cowok heheee…, meskipun Davina sempat protes keras karena gak suka (dan memang belum pernah) lihat Mamanya dengan rambut model cowok, tapi akhirnya bisa mengerti, dan alhamdulillah sekarang sudah tumbuh bagus lagi.
Selain itu, sebab badanku yang memang sudah langsing dan kini semakin slim, hampir semua baju dan rok atau celanaku jadi longgar dan bahkan ada yang tidak bisa dipakai karena takut melorot heheee.., juga kalau aku harus duduk di lantai atau di kursi yang keras, pasti (maaf) bokongku akan sakit, jadi harus dialasi bantal, termasuk untuk sholat sebisa mungkin aku gunakan sajadah yang empuk…
Satu lagi adalah., sudah lama aku tidak bisa merasakan nikmatnya makan sambal… Sepertinya gegara sariawan hebat di awal sakitku, jadi berkepanjangan dan sampai sekarang lidahku belum bisa menerima makanan yang pedas atau panas. Salah satu akibat lupusku ini, sariawan memang masih sering datang, kadang sampai bibirku rasanya tebal dan tentu agak perih.
Sedihnya adalah, aku belum bisa sepenuhnya bercerita kepada ibuku secara detail tentang sakitku. Beliau sangat perhatian namun juga selalu mengkhawatirkanku. Aku hanya bilang baik-baik saja (dan insya Allah memang baik-baik saja seterusnya), meskipun masih terus kontrol dokter. Saudara-saudaraku semuanya sering mencek kondisi spesialku ini, bahkan mbakku yang sulung selalu kontinu menanyakan keadaanku. Mbakku ini saat pertama tahu kondisiku sedang berada di tanah suci, sampai menangis sejadi-jadinya hingga teman-temannya di sana ikut bingung…
Kesedihan lain adalah, aku yang sebelumnya biasa menikmati puasa senin kamis, sampai saat ini belum diijinkan oleh dokter untuk berpuasa. Alasannya karena kondisi autoimunnya masih dikontrol, jadi minum obatnya pun masih diatur waktu dan jenisnya. Mau gak mau, aku pun harus nurut.
Dari semua yang sudah kualami, terus-menerus aku panjatkan rasa syukur ke hadirat-Nya. Aku punya suami yang selalu sayang, penuh perhatian, setia mendampingi dan membesarkan hatiku, juga anak-anak yang penuh pengertian, sayang dan selalu mau membantuku…
Ya Allah, terima kasih atas semua anugerah-Mu ini. Aku ikhlas menerima sakitku ini ya Allah... Aku yakin ini semua adalah karena rasa sayang-Mu untukku. Ya Allah, berilah aku kekuatan dan kesempatan untuk sembuh dan sehat… Aamiin yaa Robbal’alamiin…
Subhanalloh ibu Dyah... Depan rumahku gadis cantik terkena lupus, tetap beraktivitas seperti biasa (kuliah) dengan payung yang hampir tak pernah tinggal, satu lagi yg belakang rumah seorang gadis terkena lupus juga, sekarang hanya bisa terbaring di tempat tidur. Semoga Alloh memberikan kekuatan dan kesembuhan untuk kalian semua. Amin
ReplyDeleteIya bu tie, matur nuwun doa n sharingnya, insya Allah ni semangat sehat, Aamiin...
DeleteMet pagi bu dyah..maaf bu mo manya, skrg msh minum hydroxycloroquine ga bu? Msh dpt di apotik RSCM kah bu? Sy kmrn ke apotik RSCM tp uda ga dpt lg. Dibilangnya uda ga ada. Kira2 sy hrs mencari kemana ya bu? Ibu minum cellcept juga ga? Makasih.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteMbak Lydia,maaf ternyata saya belum merespon pertanyaannya yaaa... pasti sekarang sudah terjawab semua.. heheee
DeleteSampai sekarang pun hydroxychloroquine pun masih seriiiing kosong, saya pernah beli online juga. Cellcept saya juga pernah diresepkan.
Salam sehat...
Semoga kita diberikan kesabaran dan kemudahan dalam mentreatmen kondisi ini. Tanya ya, Bu...Bu Dyah, berobat cell cept ditanggung bpjs, bu? Saya tgl 2 Des 17 ke apotik kimia farma RSCM, mereka jelaskan kl mereka tidak punya lisensi untuk jual hydroxycloroquine lagi. Obat dijual di RS masing2 yg meresepkan. Tapi saya tanyakan di RS saya kosong. Bisa beli dimana ya?
ReplyDeleteMbak Adelina,ternyata saya belum merespon pertanyaannya, maafkan saya.. pasti sekarang sudah terjawab semua.. heheee
ReplyDeleteCellcept dan hydroxychloroquine, di rumah sakit saya tidak pernah dicover BPJS.
Salam sehat...